Visi Madrasah
Selasa, 16 Des 2025
  • Membetuk Generasi yang memiliki karakter Spiritual (Agamis), Mandiri & berprestasi, Adaptif terhadap teknologi, Ramah anak, dan Tanggap terhadap lingkungan.
  • Membetuk Generasi yang memiliki karakter Spiritual (Agamis), Mandiri & berprestasi, Adaptif terhadap teknologi, Ramah anak, dan Tanggap terhadap lingkungan.
14 Januari 2025

Cici

Sel, 14 Januari 2025 Dibaca 196x

Created by : Elsye Virgia Azhari


Suatu pagi di hari Minggu, aku masih disibukkan dengan pekerjaan di rumahku. Mulai dari
menyapu lantai sampai menyapu halaman sudah menjadi tugasku setiap hari Minggu atau libur
sekolah.
Biasanya setelah melakukan pekerjaan rumah, aku akan tidur seharian. Tapi, kali ini aku harus
mengembalikan buku yang aku pinjam dari temanku yang bernama Pluto, karena sudah lama juga
aku meminjamnya.
Aku bersiap, dan mengambil buku yang hendak aku kembalikan kepada temanku. Sepeda merah
muda yang memiliki keranjang di depannya, aku gunakan untuk pergi ke rumah Pluto. Rumahnya ada
di desa sebelah, aku mengayuh sepedaku dengan cepat. Berharap bisa kembali ke rumah dengan
cepat juga, lalu aku akan tidur.
Sesampainya di rumah Pluto, aku segera mengetuk pintu rumah dan memanggil namanya.
“Tok, tok, tok!”
“Pluto, Pluto, ini aku Emma!”
Setelah berkali-kali aku memanggil Pluto, sama sekali tidak ada jawaban. Tiba-tiba aku
mendengar seseorang menyapaku.
“Hei, kamu Emma ya?” Tanya seorang gadis seusiaku, yang aku rasa aku mengenalnya.
“Iya, aku Emma,” Jawabku dengan ramah.
“Aku, Cici kelas 7C loh. Kamu kenal gak?” Tanyanya lagi.
Saat itu aku langsung mengingatnya, dia Cici siswa baru di sekolahku yang pindah dari kota. Dan
ternyata tempat tinggalnya sama dengan Pluto. Saat itu aku belum begitu akrab dengan Cici.
Mengingat dia siswa baru dan berada di kelas 7C, sedangkan aku sendiri 7D membuatku tak terlalu
tertarik untuk berteman dengannya.
“Kamu nyariin Pluto ya?” Tanya Cici.
“Iya nih, aku mau balikin buku dia,” Jawabku.
“Pasti dia ada di rumah saudaranya,”
“Mau aku antar?” Ucapnya menawarkan bantuan.
Tawaran itu tentu saja membuatku senang, dan aku menerimanya. Kita berjalan bersama ke rumah
saudara Pluto.
Selama perjalanan, aku banyak mengobrol dengan Cici. Ternyata orangnya memang asyik, entah
apa yang membuatku tiba-tiba banyak bercerita kepadanya tentang kegelisahan yang aku rasakan,
istilah kerennya yaitu oversharing. Dan dia menanggapi setiap ceritaku dengan baik.
Sampai tidak terasa, kita sudah sampai di rumah saudara Pluto. Aku pun segera mengembalikan
buku Pluto. Setelah itu aku pamit kepada Pluto dan Cici untuk langsung pulang ke rumah.
19
Sesampainya di rumah, aku langsung merebahkan tubuhku di atas ranjang kamar sembari
memainkan handphone ku. Aku buka aplikasi WhatsApp untuk melanjutkan obrolan dengan Cici.
Awalnya aku berpikir Cici terlalu pendiam, sehingga aku rasa dia tidak akan cocok berteman
dengan orang yang banyak bicara sepertiku. Namun, setelah aku semakin dekat dengannya, ternyata
Cici benar-benar lebih baik dari yang aku kira. Tutur katanya yang lembut dan cara dia menghargai
sungguh luar biasa membuatku senang berteman dengannya.
Hari demi hari, aku dan Cici semakin akrab. Banyak hal yang telah kita lalui sejak saat itu. Hingga
tidak terasa, kita sudah menduduki kelas 9 dan waktu kelulusan sudah semakin dekat. Para siswa
kelas 9 mulai disibukkan dengan persiapan untuk mendaftar ke Sekolah Menengah Atas, termasuk
aku dan Cici. Sehingga, waktu kebersamaan kita juga mulai berkurang.
Siang itu aku sedang makan di kantin sekolah sendirian. Aku lihat Cici dari kejauhan, arah
langkahnya menuju ke tempatku saat itu. Benar saja, dia menghampiriku.
“Emma, sendirian mulu,” Ucapnya menyindir ku.
“Berisik, deh. Aku sendiri kan sekarang sibuk terus,” Balasku.
Cici hanya tertawa mendengar ucapan ku.
“Emma, setelah lulus kayaknya kita gak bakal begini, ya,” Kata Cici.
“Apa sih dramatis kamu ya, hahaha,”
“Ma. Aku bakal balik ke kota,”
“Uhuk, Uhuk,” Aku tersedak mendengar kalimat yang Cici katakan.
Cici segera memberikan air minum kepadaku dan aku langsung meminumnya. Wajahnya tampak
cukup panik melihat keadaanku. Aku benar-benar terkejut oleh perkataannya, tiba-tiba saja aku
merasa sangat marah.
“Kamu bohong ya Ci, katanya kamu betah di sini, mau lanjut sekolah di sini. Kenapa kamu mau balik
lagi ke kota?” Baru kali ini, aku merasa kesal saat bicara dengan Cici.
Cici meraih tanganku lalu berkata lagi.
“Emma, aku masih dan akan selalu jadi sahabatmu. Ayahku mau aku lanjut sekolah di kota lagi, aku
janji kita masih bisa ketemu lagi kalau kita libur sekolah,”
Aku hanya terdiam, merasa tidak yakin dengan yang Cici ucapkan. Tapi kenapa? Selama ini aku selalu
mempercayai apa yang ia lakukan dan katakan kepadaku. Ketika itu aku malas menanggapi apa yang
Cici katakan, aku pergi begitu saja meninggalkan Cici. Cici tidak mengejarku, ia hanya menatap diriku
yang melangkah semakin jauh dari tempatnya duduk.
Ternyata benar, tidak ada yang namanya sahabat. Semua orang hanya memikirkan diri mereka
masing-masing. Rasanya terpukul sekali mengetahui keputusan Cici untuk kembali ke kota-nya.
Setelah semua yang dilalui bersama, dengan tega dia meninggalkan ku.
20
Keesokan harinya, Cici kembali menemui ku. Ia menjelaskan kepadaku alasan dia kembali ke kotanya. Ia juga meyakinkan diriku bahwa dia akan selalu menjadi sahabat ku meski nanti harus terpisah
oleh jarak.
“Ma, jujur saja aku juga gak rela. Aku juga mau sama kamu terus di sini. Tapi aku juga harus menuruti
perintah ayahku. Ma, aku harap kamu ngerti. Kamu adalah salah satu bukti bahwa Allah sayang sama
aku,” Ucapnya, dengan raut wajah yang tak mampu menutupi kesedihannya.
Tanpa berkata-kata, aku memeluknya dengan erat. Aku merasa sangat sedih, aku merasa tidak rela
jika harus ditinggalkan.
Namun, begitulah Cici, kata-katanya selalu membuatku kembali yakin dan bersemangat. Dia,
sahabat baikku. Aku juga harus bisa melakukan kebaikan untuknya. Aku menerima keputusannya
untuk kembali ke kota bersama keluarganya. Aku yakin, Cici tetaplah Cici sahabatku yang aku kenal
sampai kapan pun.
Setelah kelulusan dan perpisahan, Cici berangkat ke kota dan melanjutkan sekolahnya di sana.
Aku sendiri melanjutkannya sekolah di sini di kampung tercinta ini.
Sekarang, aku sampaikan kepada kamu Ci.
Kita berhasil membuktikan bahwa persahabatan kita tetap terjalin dengan baik, meski impian untuk
bertemu kembali belum tercapai sampai saat ini.
Persahabatan kita, adalah bukti bahwa Allah menyayangi kita.
Terima kasih, untuk kamu Cici, Ciciw, Kucrut.
21

Artikel ini memiliki

0 Komentar

Tinggalkan Komentar

Flag Counter